Membangun dengan Kasih
M. Syukron Maksum*
Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin
Khattab ra., dia berkata: ‘Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Islam
dibangun di atas lima perkara; Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat,
melaksanakan haji dan puasa Ramadhan.”
(Riwayat
Turmuzi dan Muslim).
***
Dan
saat turun perintah zakat, Tsa’labah menolak untuk mengeluarkan zakat
ternaknya.
“Celakalah
Tsa’labah,” kata Nabi. Hingga turun ayat Al-Qur’an yang mengecam ketamakan
Tsa’labah.
Tsa’labah
ketakutan ketika mengetahuinya. Ia datang kepada Nabi untuk berzakat, tapi Nabi
menolaknya. “Allah melarang aku menerimanya,” tegas Nabi.
Tsa’labah
menangis tersedu-sedu. Setelah Nabi wafat, Tsa’labah menyerahkan zakatnya
kepada Abu Bakar, kemudian Umar, tetapi kedua khalifah itu menolaknya.
Tsa’labah menderita hingga akhir hidupnya.
Pada
awalnya, Tsa’labah hidup miskin. Ia meminta Nabi Muhammad mendoakannya agar
menjadi kaya.
“Tidak,
kekayaan membuatmu lalai,” tolak Nabi.
“Aku
berjanji akan lebih rajin beribadah dan mengelola harta dengan baik jika kaya,”
janji Tsa’labah kepada Nabi.
Akhirnya
Nabi tak kuasa menolak. Nabi mendoakan Tsa’labah. Benar saja, tak lama kemudian
ternak Tsa’labah semakin banyak. Karena saking banyaknya, Tsa’labah harus
membuat peternakan di luar Madinah. Hal ini tentu saja sangat merepotkan. Juga
membuatnya sering meninggalkan shalat berjamaah bersama Nabi.
Semakin
lama Tsa’labah semakin jauh dari Nabi, bahkan shalat Jum’at dan shalat
Jenazah-pun ditinggalkannya. Dan puncak, ia menolak membayar zakat.
***
Islam
itu dibangun dengan asas kasih sayang. Aslinya, Allah sebenarnya tidak
membutuhkan pengakuan manusia, tapi karena Allah tahu kita butuh itu, maka
pengakuan akan ketuhanan Allah diwajibkan oleh-Nya. Lalu dengan pengakuan
diiringi ketaatan itu, kita mendapatkan karunia dan kasih sayang yang lebih
dari Allah swt., dan itu sangat menguntungkan kita.
Begitu
juga dengan pengakuan akan Rasulullah saw sebagai utusan. Hal itu sangat
menguntungkan kita, karena dengannya kita akan mendapatkan syafaat dan pengampunan
di Hari Kiamat, selain juga kemudahan-kemudahan dan keberkahan-keberkahan lain
di dunia. Apalagi Rasulullah saw memang sangat mencintai kita, ummat beliau.
Bahkan di saat-saat terakhir hidupnya, yang beliau khawatirkan adalah nasib
kita. Ummati, ummati, ummati. Ummatku, ummatku, ummatku, gumamnya saat
ajal hampir menjelang, karena sangat mengkhawatirkan keadaan kita sepeninggal
beliau. Rasulullah mengajari kita kasih sayang dengan cara memberikan cinta
sepenuh jiwa untuk kita ummatnya.
Tidak
hanya itu, Allah juga mengajari kita untuk menebar kasih dan cinta pada sesama
dalam perintah-perintah yang termaktub dalam pondasi Islam lainnya, yakni
perintah shalat, zakat, puasa dan haji. Semuanya mengandung pesan-pesan moral
yang mengajari kita untuk peduli dan saling mencintai sesama makhluk Allah. Demikian
besarnya arti sebuah pesan moral, hingga Rasulullah menilai ‘harga’ suatu
ibadah dinilai dari sejauh mana kita menjalankan pesan moralnya. Jika ibadah
itu tidak meningkatkan akhlak kita, Rasulullah menganggap ibadah itu tak
bermakna.
Dalam
perintah puasa, misalnya. Seseorang bisa saja melaksanakan ibadah puasa dan
sanggup mematuhi seluruh ketentuan fikih, tetapi dia sering tak sanggup
mewujudkan seluruh pesan moral ibadah puasa itu. Rasulullah saw bersabda: “Banyak
sekali orang berpuasa, tetapi tak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan
dahaga.” Mudah memang menahan makan dan minum hingga maghrib, tapi menjaga
diri dari menggunjing, menghina, menahan pandangan mata dan peduli pada
penderitaan orang lain tidaklah mudah.
Jalaluddin
Rakhmat mengutarakan sedikitnya ada 3 pesan moral utama ibadah puasa, yaitu: Pertama,
Supaya kita menjaga diri dari memakan sembarang makanan. Bahkan makanan halal
pun tidak boleh dimakan sebelum datang waktunya yang tepat. Jadi, jangan
sembarang makan. Ali bin Abi Thalib r.a berkata: “Jangan jadikan perutmu
sebagai kuburan hewan.”
Kedua,
jangan
jadikan perut kita sebagai kuburan orang lain. Jangan pindahkan tanah dan ladang
orang kecil ke perut kita. Seperti yang umum terjadi saat ini, demi mengejar
kekayaan dan status sosial, hak-hak orang lain dirampas dengan semena-mena. Ketiga,
ibadah puasa mengajarkan kita bahwa walaupun harta itu milik kita, kita tak
boleh memakannya sendiri. Ali r.a pernah berkata: “Tidak pernah aku melihat ada
orang yang memperoleh harta yang berlimpah kecuali disampingnya ada hak orang
lain yang ia sia-siakan.” Ada hak fakir miskin, orang-orang terlantar, dan
mereka yang nasibnya kurang beruntung pada harta berlimpah yang kita miliki.
Puasa tak bermakna apa-apa sebelum kita memperhatikan secara tulus terhadap
orang-orang yang menderita di sekitar kita.
Indikasi
bahwa pesan moral ini penting dan harus senantiasa kita perhatikan adalah jika
kita melakukan hal-hal yang dilarang dalam ketentuan fikih yang berhubungan
dengan ibadah-ibadah wajib, maka tebusannya adalah menjalankan pesan moral
ibadah itu. Misalnya dalam ibadah puasa, sepasang suami istri yang berhubungan
badan saat puasa Ramadhan, kifaratnya adalah memberi makanan enam puluh orang
miskin. Demikian pula untuk pelanggaran lain, selalu ada ketentuan untuk
menebus dengan pesan moral puasa, yaitu perhatian terhadap sesama. Maka dari
itu puasa yang kita laksanakan harus benar-benar merasuk ke dalam jiwa, dan
salah satu indikasi pentingnya adalah meningkatnya perhatian dan kasih sayang
kita pada sesama. Hal ini juga berlaku dalam rukun-rukun Islam yang lain,
selalu terkandung pesan moral yang kurang lebih sama.
Itulah
Islam, itulah garis perjuangan dalam membangun agama Allah ini. Kita diajari
untuk senantiasa menebar kasih sayang dan mencintai sesama makhluk, agar
kehadiran kita benar-benar sesuai harapan Allah: yakni menjadi rahmat bagi
seluruh alam. Tak patut rasanya jika kita mengaku membangun Islam, tapi
melakukannya dengan jalan kekerasan, kebencian, dan kerusakan.
Wallahu
a’lam.