|

Pesantren itu Bernama Penjara

Beberapa saat yang lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi seorang sahabat di Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Kuala Tungkal. Bergetar hati ini ketika masuk dan merasakan suasana di dalamnya, namun perasaan itu tak lama hadir, selebihnya rasa syukur pun muncul dari relung jiwa.

Ya, saat berada di penjaralah seseorang baru akan merasakan bagaimana nikmatnya kebebasan. Persis seperti ujaran Pakde saya dulu saat saya sedang sakit, bahwa saat sakitlah baru kita bisa merasakan dan menyadari betapa nikmatnya sehat. Ketika orang lain bebas bergerak kemana pun; ke pasar, ke masjid, ke rumah teman, mengunjungi orang tua, bertandang ke rumah sanak saudara, atau sekedar jalan-jalan sore dengan anak dan istri; maka penjara membatasi kemungkinan untuk bergerak ke mana-mana, yang ada hanya jeruji besi yang dijaga ketat aparat keamanan bersenjata lengkap. Saat orang lain bebas bercengkerama dengan keluarga dan para sahabat, maka nara pidana terpasung dari kesempatan itu. Dan saat yang lain bebas melakukan apapun yang di suka, baik itu kebaikan ataupun kejahatan, maka penjara tak bisa semudah itu mengizinkan penghuninya untuk melakukannya.

Pendek kata, jika sebelumnya dianjurkan untuk datang ke rumah sakit, ke panti asuhan atau kuburan untuk melipur hati yang sedang lara atau guna menambah rasa syukur kita, maka kini penjara harus masuk daftar tempat untuk dikunjungi itu. Rumah sakit membangkitkan terima kasih kita pada Allah atas nikmat kesehatan, sementara saudara-saudara kita yang lain sedang didera penyakit yang bermacam-macam. Panti asuhan membuat kita bersyukur bahwa kita masih memiliki orang tua yang membesarkan kita dengan penuh kasih sayang dan tanggungjawab, sementara kuburan mengingatkan kita bahwa nikmat umur itu adalah berkah luar biasa dari Allah yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kebahagiaan dunia-akhirat. Dan penjara menimbulkan rasa syukur bahwa kita telah diberi kebebasan dan kemerdekaan oleh Allah, sehingga kesempatan besar ini harus dimanfaatkan untuk kebaikan dan pengabdian kepada-Nya, agar nikmat bebas ini tidak dicabut oleh Allah.

Sejatinya, penjara adalah pesantren kehidupan. Kehidupan penjara menjadi pelajaran berharga buat kita; pelajaran itu bisa bermakna teguran dari Allah dan latihan kesabaran bagi terpidana, atau juga pemicu rasa syukur bagi yang terbebas dari penjara. Tak salah jika ada yang menyebut pesantren dengan istilah penjara suci, karena pesantren dan penjara memiliki kemiripan satu sama lain. Masih segar dalam ingatan bagaimana ketika di pesantren dulu, kami tak boleh keluar dari pesantren kecuali pada hari libur. Setiap detik diatur dan diisi dengan kegiatan-kegiatan positif yang terus berputar 24 jam tanpa henti, tanpa boleh dilanggar atau minta jeda untuk istirahat (tidur) di waktu kegiatan berlangsung. Semua diatur sedemikian rupa dengan aturan yang ketat dan sanksi yang siap menanti jika dilanggar. Demikian pula kehidupan penjara, ritme hidup diatur oleh aturan dan wajib 
ditaati. 

Tampaknya, bagi yang pernah mondok di pesantren, tak terlalu kaget jika garis hidupnya menakdirkan bahwa ia harus merasakan kehidupan yang keras, rumit dan penuh tekanan. Kenapa? Pertama, karena kehidupan pesantren melatih mental seseorang untuk siap menghadapi segala kemungkinan terburuk dan tekanan hidup, hal ini tercermin dari penerapan aturan sangat ketat bagi santri-santri dengan melatih kebiasaan-kebiasaan baik untuk bekal hidup. Kedua, pesantren memberikan bekal spiritual dengan melatih santri untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, pasrah dan bersandar hanya kepada-Nya. Dengan kekuatan tersebut, segala persoalan akan dapat diatasi dengan relatif mudah dan terarah.

Ada baiknya para orang tua mewajibkan anaknya untuk mondok di pesantren. Tujuan utamanya adalah agar si anak lebih siap menghadapi kerasnya kehidupan, kejamnya persaingan, dan ganasnya pergaulan di zaman akhir ini, di mana semua itu disiapkan sedemikian rupa oleh lingkungan pesantren.
Semoga Allah menjaga dan melindungi diri dan keluarga kita siksa api neraka. Amin.

*M. Syukron Maksum, Wakil Ketua Yayasan Pondok Pesantren Al-Ishlah Manunggal Makmur Kuala Jambi, penulis buku ‘Dosa Bikin Hidup Menderita’.

Posted by Administrator on 08.41. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response