Menjaga Niat
M.
Syukron Maksum*
Dari
Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab ra., dia berkata, ‘Saya mendengar
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya.
Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.
Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya,
maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya
karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin
dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”
(Riwayat
dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah
bin Bardizbah Al Bukhari dan Abu Al Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al
Qusyairi An Naisaaburi di dalam dua kitab Shahih, yang merupakan kitab yang
paling shahih yang pernah dikarang).
***
Tersebutlah
seorang nelayan miskin di daerah pedalaman. Ia hidup bertiga dengan seorang
istri dan anak semata wayangnya. Sehari-hari nelayan ini berkayuh ke
sungai-sungai guna mencari ikan dengan pancing dan jala kecilnya yang sudah
mulai rapuh. Ada saja yang harus ia tambal agar jalanya tetap kuat menjaring
ikan, agar anak istrinya tetap bisa makan.
Sore
itu berangkatlah si Nelayan diiringi tatapan penuh harapan dari istri dan
anaknya, agar tangkapan hari ini bisa lebih memuaskan dari hari-hari biasanya.
“Ayah
pamit dulu ya?”
“Hati-hati.
Semoga hari ini dapat ikan banyak,” seru istrinya sambil mencium tangan sang
suami, diiringi anaknya.
Terbersit
niat dalam hati nelayan itu untuk berjuang lebih keras, menangkap ikan lebih
banyak, agar keluarganya lebih sejahtera, meski ia tak tahu apa yang harus
dilakukan. Tapi sebagai bentuk usaha, ia bertekad untuk merambah sungai lain
yang selama ini belum pernah disentuhnya, dan sangat jarang didatangi para
nelayan. Jangankan nelayan, penduduk di sekitar daerah itu pun jarang sekali
melalui sungai itu meskipun sekedar untuk lalu lalang. Sungai itu memang cukup
gelap oleh rerimbunan dan arusnya tak bisa ditebak, kadang tenang kadang deras,
sehingga menimbulkan kesan menyeramkan.
Berjam-jam
si Nelayan melempar jala dan menabur pancing dengan perahu kecil miliknya, tapi
tak satupun ikan yang tertangkap. Yang tersangkut hanya sampah dan kayu-kayu
kecil yang terbawa arus sungai. Ia heran bukan kepalang, seperti mendapati
kenyataan yang sulit dipercaya. Bagaimana tidak, sungai sebesar ini tak ada
seekor ikan pun yang muncul. Mungkin inilah alasan para nelayan jarang menebar
jala dan memancing di sini, gumamnya. Terbayang wajah anak dan istrinya yang
menanti dengan penuh harap, bangkitlah semangat untuk terus mencoba dan mencoba
mendapatkan ikan.
Tak
terasa hari mulai gelap, dan nelayan miskin itu mulai putus asa. Pada lemparan
jala untuk yang kesekian kalinya, ia berkata dengan penuh putus asa, “Sekali
ini tak ada ikan yang tersangkut, aku pulang. Biarlah anak istriku kecewa, aku
tak tahu harus bagaimana lagi.”
Dengan
gontai tanpa semangat sedikitpun dilemparkannya jala yang sudah bertahun-tahun
menemaninya. Ia diamkan beberapa lama, tak buru-buru diangkat seperti biasanya.
Sambil menghela nafas panjang tanda kekecewaan mendalam, ditarik jala itu
pelan-pelan. Tapi ia merasa tarikannya tak sempurna, ditariknya lebih kuat.
Sejurus kemudian ia baru tersadar ada sesuatu yang tersangkut di jalanya.
Berdebar-debar hatinya menebak apa gerangan yang menyangkut di jalanya. Dan
bayangan kekecewaan masih membekas dalam hati. “Ah, sampah sialan,” gumamnya
hampir tanpa suara.
Namun
betapa terkejut nelayan miskin itu saat mendapati sebuah kawat tersangkut di
jalanya. Bukan karena kawatnya, tapi kawat itu berkilau diterpa cahaya remang
di sungai yang menyeramkan itu. Hampir saja ia tercebur saking terkejutnya. Ia
kendalikan diri dan bergegas mengambil lampu senter di ujung sampan. Yakinlah
ia bahwa kawat itu bukan sembarang kawat, itu kawat emas. Ia teliti
berkali-kali dibantu cahaya senter di tangannya, dan ia semakin yakin bahwa
kali ini ia sangat beruntung.
Tanpa
sadar nelayan yang kini terbayang akan menjadi kaya itu tertawa terbahak-bahak.
Impiannya sejenak melambung tinggi, membayangkan kekayaan berlimpah tak
terkira. Ditariknya kawat tebal keemasan itu dengan riang gembira. Kawat itu
berbentuk persegi empat seperti anyaman terali jendela, mungkin di kirim untuk
dipasang pada jendela sebuah kerajaan, lalu tenggelam di sungai itu. Ketika ia
mengambil satu kawat persegi, ternyata ujung persegi itu terkait dengan kawat
lain. Begitu seterusnya hingga berbatang-batang kawat emas ia tarik.
Semula
terpikir juga untuk memotong atau melepas ujung kawat persegi itu, tapi jiwa
rakus benar-benar telah menyelimuti nelayan udik ini. Diraihnya terus ujung kawat
tanpa henti, dan yang terjadi kemudian sungguh naas, sampannya tak kuat
menanggung beban emas yang demikian berat. Bisa ditebak, sampannya terbalik dan
nelayan itu tenggelam terbawa arus dan ditemukan telah terapung di ujung
sungai. Istri dan anaknya menyambutnya mayatnya dengan air mata berderai.
***
Niat
merupakan syarat diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan
menghasilkankan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah). Sudah benar apa
yang dilakukan nelayan miskin dalam kisah di atas, ia bersungguh-sungguh untuk mencari
nafkah demi menghidupi keluarganya. Sayangnya, nafsu telah membutakan hatinya, saat
keberuntungan datang niatnya berubah dan muncullah sifat egoisme yang justru
merugikan dirinya. Jika ia tetap mempertahankan niat baiknya, tentu ia hanya
mengambil harta karun itu secukupnya, dan segera kembali ke keluarganya membawa
kabar gembira.
Niat
memang elemen penting dari sebuah tindakan dan ibadah. Tak salah jika Imam
Syafi’i menyatakan bahwa hadis yang membahas tentang niat di atas, isinya
mencakup sepertiga ilmu, meliputi tujuh puluh bab dalam kajian ilmu fiqih. Maka
setiap muslim akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya. Bahkan semua
perbuatan yang bermanfaat dan mubah jika diiringi niat karena mencari keridhaan
Allah maka dia akan bernilai ibadah. Apalagi sebuah revolusi besar seperti
bertaubat dari gelimang dosa dan kesalahan, jika niatnya karena ingin
mendapatkan cinta seorang wanita misalnya, maka jauhlah ia dari rahmat Allah.
Yang didapatkan hanya apa yang diniatkan itu.
Maka,
semestinya kita selalu menjaga niat dalam setiap tindakan, karena niat itu
sangat mempengaruhi hasil akhir dari tindakan kita. Dan niat yang benar adalah
melakukan segala hal semata hanya untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah,
agar kita selalu dilindungi dan ditunjukkan jalan yang benar, bahagia di dunia
dan di akhirat.
Wallahu
a’lam.